Teori belajar behavioristik, Teori Belajar Pavlov, Teori Belajar Skinner
Dalam
proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara menyampaikannya
merupakan syarat yang sangat essensial. Penguasaan guru terhadap materi
pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup
untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Selain menguasai materi
matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori belajar, agar dapat
mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar,
sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa.
Hal ini sesuai dengan isi
lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan
bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Jika
seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses belajar mengajar,
maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar tersebut sehingga
selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk proses belajar mengajar yang
akan dilaksanakan. Psikologi belajar atau disebut dengan Teori Belajar adalah
teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) 2 siswa. Di
dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu: (1) uraian tentang apa yang terjadi dan
diharapkan terjadi padaintelektual anak, (2) uraian tentang kegiatan
intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Terdapat dua aliran dalam psikologi belajar, yakni aliran psikologi tingkah
laku (behavioristic)dan aliran psikologi kognitif.
1. Teori belajar behavioristik
Psikologi belajar atau disebut juga dengan teori belajar
adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu
(Suherman, dkk: 2001: 30). Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian tentang
apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan 2) uraian tentang
kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia
tertentu. Dikenal dua teori belajar, yaitu teori belajar tingkah laku (behaviorism) dan teori belajar kognitif. Teori
belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987: 38) sebagai suatu keyakinan
bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus (rangsangan) dan
respon (response). Berikut dipaparkan empat teori belajar tingkah laku
yaitu teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa
hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih
berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa
senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat
anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk
reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan
cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang
diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan
mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike
ini disebut juga teori belajar koneksionisme.Pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil
atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan 3 (law
of readiness), hukum
latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1) Hukum kesiapan (law of readiness) menjelaskan
kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang
mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu
kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan
bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan
kepuasan bagi dirinya.
2) Hukum latihan (law of exercise) menyatakan bahwa
jika hubungan stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin
kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin
lemah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada dasarnya menggunakan dasar
bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat,
jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan
maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan
pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan
secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3) Hukum akibat (law of effect) menjelaskan bahwa
apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu
kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti bahwa kepuasan
yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi
anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang
telah dicapainya itu.
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai
berikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan
bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan
masalah yang dihadapi.
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada
dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency
element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi
(respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response by
analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum
pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru.
Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang
belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi
sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan
penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1) Hukum latihan ditinggalkan karena
ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan
stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah
hubungan stimulus-respons.
2) Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam
penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini
yang benar. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan
stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat
apa-apa.
3) Syarat utama terjadinya hubungan
stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus
dan respons.
4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain
maupun pada individu lain.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar
mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1) Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya
mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
2) Metode pemberian tugas, metode latihan (drill
dan practice) akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan
metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon
yang diberikan pun akan lebih banyak.
3) Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum
merupakan hal yang penting.Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan
sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang
lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar.
Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat
memahami topik berikutnya.
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov
mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Terkait dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa
belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan
soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya,
atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau
penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat
perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang
sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif,
sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah pada hal-hal yang dapat diamati dan
diukur.
Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan
positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus
positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak
dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang
diberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering
melakukannya. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan
pada anak. Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan,
merupakan penguatan positif pula. Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif
menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk
memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam
kelas mempunyai tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena
pada saat tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan
instruksi ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat
pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya
akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang
berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan
mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera
diberikan dan tak perlu ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada
anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang
diberikan tentu harus diarahkan pada 7
respon anak yang benar. Janganlah memberikan
penguatan atas respon anak jika respon tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang
efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar
respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan.
Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak
menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon
tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif.
Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman
edukatif).
d. Teori belajar Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru.
Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang
dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru
berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah
laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan
menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya.
Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata
refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul
sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu
sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori
belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip
modifikasi perilaku.Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura
didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk
interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku, dan
lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya 8
dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu
juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung
pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus
dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar
apapun. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah
laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk
tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan
kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada
reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi
konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh
ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif.
Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri
sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi
bagi bagi tingkah lakunya sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
1) Sebagian besar dari yang
dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian
contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang siswa
mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang yang
mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3) Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara
pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/orang
tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan
moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons (conditioning)
dan peniruan (imitation).
9
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi
untuk penggunaan di dalam kelas, yaitu:
1) Siswa sering belajar hanya dengan mengamati
orang lain, yaitu guru.
2) Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat
secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak
pantas. Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan
konsekuensi dari berbagai perilaku.
3) Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk
perilaku baru untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang
guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian,
retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4) Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku
yang sesuai dan berhati-hati agar mereka tidak meniru perilaku yang tidak
pantas,
5) Siswa harus percaya bahwa mereka mampu
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan
rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapat meningkatkan rasa efektivitas
diri siswa dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri siswa, memperlihatkan
pengalaman orang lain menjadi sukses, danmenceritakan pengalaman sukses guru
atau siswa itu sendiri.
6) Guru harus membantu siswa menetapkan harapan
yang realistis untuk prestasi akademiknya. Guru harus memastikan bahwa target
prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7) Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif
untuk meningkatkan perilaku siswa.
2. Teori belajar Vygotsky
Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu
akan menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadiyang telah dimilikinya
untuk membantu memahami masalah atau materi baru. King (1994) menyatakan bahwa
individu dapat membuat inferensi tentang informasi baru itu, menarik perspektif
dari beberapa aspek pada pengetahuan yang 10
dimilikinya, mengelaborasi materi baru dengan
menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi hubungan antara materi baru
dengan informasi yang telah ada dalam memori siswa. Aktivitas mental seperti
inilah yang membantu siswa mereformulasi informasi baru atau merestrukturisasi
pengetahuan yang telah dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih
luas/lengkap sehingga mencapai pemahaman mendalam.
Lev Semenovich Vygotsky merupakan tokoh penting dalam
konstruktivisme sosial. Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting
dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu). Yang dimaksud dengan
orang dewasa adalah guru atau orang tua.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa
selama tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk,
dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan,
memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu
belajar mandiri.
Gambar 2.Tiga Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan 11
Berdasarkan uraian di atas, Vygotsky menekankan
bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi
sosial. Proses pengkonstruksian pengetahuan seperti yang dikemukakan Vygotsky
paling tidak dapat diilustrasikan dalam beberapa tahap seperti pada Gambar 2.
Tahap perkembangan aktual (Tahap I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri
menyudahi konflik kognitif yang dialaminya. Perkembangan aktual ini dapat
mencapai tahap maksimum apabila kepada mereka dihadapkan masalah menantang
sehingga terjadinya konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu
mereka untuk menggunakan segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada saat siswa
berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan
lebih, seperti teman dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua.
Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap maksimal jika pembelajaran
dilakukan secara kooperatif (cooperative learning) dalam kelompok kecil dua
sampai empat orang dan guru melakukan intervensi secara proporsional dan
terarah. Dalam hal ini guru dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding
yaitu membantu kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan
teknik probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi
mental yaitu berubahnya struktur kognitif dari skema yang telah ada menjadi
skema baru yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) menurut
Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena adanya
interaksi sosial. Jika dikaitkan dengan teori perkembanga mental yang
dikemukakan Piaget, internalisasi merupakan proses penyeimbangan
struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal. Proses kognitif
seperti ini, pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh
rekonseptualisasi terhadap masalah atau informasi sedemikian sehingga terjadi
keseimbangan (keharmonisan) dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai
pertentangan atau konflik. Pada level ini, diperlukan intervensi yang dilakukan
secara sengaja oleh 12
guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi
dan akomodasi berlangsung dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan
(equilibrium).
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika
menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa
matematika yang baru dalam mengkreasipengetahuan.Mengkonstruksi pengetahuan
merupakan fokus yang krusial dari pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya
bahwa siswa belajar untuk menggunakan bahasa baru dengan internalisasi
pengetahuan dari kata yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari
pengetahuan kata dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua,
pada tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai
pemahaman. Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata baru yang saat
itu diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan diri mereka sendiri
dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai pelajaran baru. ZPD merupakan tempat
pengetahuan seseorang di antara pengetahuan saat itu dengan pengetahuan
potensialnya.
3. Teori Belajar Van Hiele
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang
dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan
mental anak dalam geometri. van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang
mengadakan penelitiandalam pembelajaran geometri. Penelitian yang dilakukan van
Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif
anak dalam memahami geometri. van Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap
pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
akurasi.
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri
sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum
memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian,
meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum
mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
tahu suatu bangun 13
bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari
ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri
berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada
tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu
bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun
merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar
ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di
samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk
tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan
antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini
siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang,
karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan
secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus,
(2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi,
aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini
siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan
mampu menggunakan proses berpikir tersebut. 14
Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah
sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan
menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan
memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu
ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum
tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada
dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi,
mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut.
Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian
pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum
memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap
ini belum dapat menjawab pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam
bentuk teorema atau dalil?”
e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah
memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika
kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan
merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan
rumit, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem
matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model
yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan
adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka
seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini 15
siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang
lain di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif dalam memahami geometri, van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat
tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran
dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan
meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap
yang sebelumnya.
Menurut van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan
melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan
adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai
memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu
dengan siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap
berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi
lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui
siswa. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain,
kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang
lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada
tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan
untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan
melalui pengertian. Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan
belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi,
3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi. Berdasar
hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna untuk
menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan
Tinggi.
Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih
sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de
Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah: 16
a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat
digunakan untuk memanipulasi.
2) Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang
bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
3) Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi
dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan
4) Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat,
menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
b. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama
model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
2) Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari
pada sekedar identifikasi
3) Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya
berdasarkan nama bangun tersebut.
4) Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat
bangun.
c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan
fokus pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat
yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.
2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif
informal, misalnya semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas
konversi suatu relasi.
3) Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir
dan mulai mencari generalisasi atau kontra.
17
4. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan.
Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna. Teori belajar
Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum
belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran
yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua
menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang
telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat
dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan
informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang
akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan
informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi
belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba
menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang
telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Menurut Ausubel & Robinson (dalam Dahar: 1989) kaitan antar kedua dimensi
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. 18
Gambar 3. Bentuk-bentuk belajar (menurut Ausubel
& Robinson, 1969)
Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada
subsume-subsume yang telah ada. Ausubel membedakan antara belajar menerima
dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi
tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh
siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu terdapat
perbedaan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna, pada belajar
menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar
bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain
sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat
belajar bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni
materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan 19
belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar
bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi
belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar
bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep
yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel
dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal
mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa
pada materi sebelumnya yang dapat digunakanm siswa dalam membantu menanamkan
pengetahuan baru.
b.Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung
paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep
diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih
mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman (1988: 203)
diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui
penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari
secara terpisah dari satu kesatuan yang besar.
c. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan
diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu
tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila
konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari
suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar
bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan
juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep-
konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana
arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya 20
yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang
tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang
Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan
dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan
pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur
materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan dalam
pemebelajaran terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan
rekonsiliasi integratif.
5. Teori Belajar Bruner
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dari
Universitas Haevard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi
belajar kognitif yang memberikan dorrongan agar pendidikan memberikan perhatian
pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner banyak memberikan pandangan
mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau
memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan
pengetahuan. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses,
pemikir, dan pencipta informasi. Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar
matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antar konsep-konsep dan
struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam
bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya
itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur
tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1990:48) belajar matematika
adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang
terdapat 21
di dalam materi yang dipelajari, serta mencari
hubungan antara konsep-konsep dan struktur- struktur matematika itu. Siswa
harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang
berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan
demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya agar dapat
mengenal konsep dan struktur dalam materi yang sedang dibicarakan. Dengan
demikian materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih
mudah dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema
pendidikan, yakni: (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum hendaknya
mementingkan struktur pengetahuan, karena dalam struktur pengetahuan kita
menolong para siswa untuk melihat. (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar.
Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan
keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang memungkinkan seorang untuk
mncapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam
proses pendidikan. Intuisi adalah teknik-teknik intelektual untuk sampai pada
formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang
sahih atau tidak, serta (4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta
cara-cara yang dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Menurut Bruner dalam belajar melibatkan tiga proses yang
berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah (1) memperoleh
informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevan informasi
dan ketepatan pengetahuan. Dalam belajar informasi baru merupakan penghalusan
dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi
pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok atau sesuai dengan
tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan,
apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain. 22
Kita menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
dengan minilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan
tugas yang ada.
Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan
kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat pada dua
prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada
model-model tentang kenyataan yang dibangunnya dan (2) model-model semacam itu
mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu
diadaptasi pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif
seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh
bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini
ada kalanya seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus
yang berubah-ubah, atau belajar mengubah responnya dalam lingkungan stimulus
yang tidak berubah. Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari
pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus
sebelum respons.
b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada
bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem
simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem inilah yang
memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di atas informasi yang
diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melakukan ini dengan membuat
ramalan-ramalan, dan ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang disimpannya.
c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan
seseorang untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan
pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah dilakukan atau apa yang
dilakukan.
Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem
keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuan secara sempurna. Ketiga
sistem 23
keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara
penyajian (modes of presents), yaitu:
a. Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat
secara langsung dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat
manipulatif. Anak belajar sesuatu pengetahuan secara aktif, dengan menggunakan
benda- benda konkret atau situasi nyata. Dengan cara ini anak mengetahui suatu
aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Cara ini terdiri
atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik.
Dalam cara penyajian ini anak secara langsung terlihat.
b. Cara penyajian ikonik
Cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang
dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek
seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting
sebagai suatu media berpikir.
c. Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir
abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi
simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu
menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil
terkait penguasaan konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut adalah
dalil-dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil kekontrasan dan dalil
variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity
theorem). 24
Menerapkan Metode Penemuan dalam Pembelajaran
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang
paling berpengaruh adalah model belajar penemuan Jerome Bruner (1966).
Selanjutnya Bruner memberikan arahan bagaimana peran guru dalam menerapkan
belajar penemuan pada siswa, sebagai berikut.
a. Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan
sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya
menggunakan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa, kemudian guru mengemukakan
sesuatu yang berlawanan, sehingga terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya
timbullah masalah, yang akan merangsang siswa untuk menyelidiki masalah itu,
menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau
prinsip-prinsip yang mendasari masalah tersebut.
b. Urutan pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian
enaktif, ikonik, kemudian simbolik karena perkembangan intelektual siswa
diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, kemudian simbolik.
c. Pada saat siswa memcahkan masalah, guru
hendaknya berperan sebagai pembimbing atau tutor. Guru hendaknya tidak
mengungkap terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, guru
hendaknya memberikan saran- saran jika diperlukan. Sebagai tutor, guru
sebaiknya memberikan umpan balik pada saat yang tepat untuk perbaikan siswa.
d. Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes
objektif atau tes esay, karena tujuan-tujuan pembelajaran tidak dirumuskan
secara mendetail. Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi
itu.